Seandainya...
Seandainya... Seandainya saja aku berani berucap. Seandaniya saja aku mau mengatakan apa yang kuinginkan. Seandainya saja aku tidak egois, dan masih banyak seandainya yang bersarang dipikiranku. Aku tahu terlambat untuk menyesalinya. Tapi Allah selalu berada didekatku, kan? Tuhanku selalu menyapaku dengan hal-hal yang tak dapat kubayangkan.
#############################
"Bangun nduk, udah maghrib ayo ke masjid." Seru seorang lelaki paruh baya, mencoba membangunkan cucu nya.
"Lima menit lagi kek... Bentar..." ucap cucu kecilnya yang sudah berumur 11 tahun dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
"Ayooo, gak boleh nunda-nunda sholat. Udah adzan." Suara sang kakek begitu terdengar lembut. Dia berucap sambil menarik pelan tangan cucunya agar mau duduk.
Sepertinya usaha sang kakek berhasil, cucu nya mulai mengedipkan matanya mencoba beradaptasi dengan cahaya lampu di kamar.
"Kek, bapak sama ibu udah pulang?" Tanya Aisyah sambil mengucek-ucek matanya.
Sang kakek tersenyum getir, lalu menjawab dengan hati-hati, " Belum nduk. Kan bapak sama ibu lagi kerja, buat beliin tas Aisyah." Aisyah menatap mata kakeknya dengan mata yang belum terbuka sempurna. " Seandainya Aisyah ndak minta dibeliin tas, pasti bapak sama ibu cepet pulang kan ya kek? Seandainya Aisyah diem aja, pasti bapak sama ibu gak pulang sendiri-sendir kan kek?" Tanya Aisyah dengan kepala menunduk dalam.
'Bukan itu nduk.' Batin sang kakek. Kakek tersenyum getir ketika melihat cucunya mencoba untuk tidak menangis. Dia tahu, cucunya sangat sedih. Tapi dia cucu terhebatnya.
"Kek... Aisyah nanti habis sholat Maghrib boleh ikut mbak Fitri?" Tanya Aisyah dengan nada pelan. Dia sedang mencoba untuk membuka matanya yang terasa begitu berat.
"Mau kemana?" Kakek merapikan rambut Aisyah yang berantakan. "Mau ke mushola dekat madrasah, disana ada latihan qiro'. Aisyah boleh ikut?" Sang kakek terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya. Lalu dia menjawab, "Boleh, tapi pulangnya jangan malem-malem ya. Nanti malah dimarahin nenek lagi." Aisyah tertawa pelan mendengar penuturan kakeknya yang terdengar lucu.
Lalu sang kakek mengajak Aisyah untuk pergi ke masjid yang berada di dekat rumah. Kakek terus menggandeng tangan Aisyah hingga sampai di masjid.
"Waahh, Aisyah udah sampai. Mau "pujian" lagi? " Aisyah dengan wajah sumringah mengangguk cepat. Hingga membuat seseorang yang bertanya padanya tertawa.
"Pujian" kata yang sering ia ucapkan ketia di masjid. Pujian yang dimaksud adalah pujian untuk para nabi dan Allah. Lantunan sholawat yang bisa membuat banyak orang merasa terpanggil untuk memperpendek jaraknya dengan Allah.
"Nih, mbah Win kasih permen. Tapi dimakan kalau udah pulang lho! Jangan dimakan waktu sholat!" Peringatan dari mbah Win membuat Aisyah tersenyum malu. Pasalnya, jika mbah Win memberinya permen dia selalu memakannya sewaktu sholat.
Mbah Winarno atau biasa dipanggil mbah Win adalah salah seorang kyai di desa ini. Beliau juga lah yang mengajari anak-anak didesa untuk membaca Al Quran. Beliau memang sangat menyukai anak-anak, terutama Aisyah.
Aisyah berlari ke tempat wudhu setelah dia mengantongi beberapa permen yang telah diberikan mbah Win.
Selesai wudhu, dia masuk kedalam masjid lalu mengenakan mukena nya yang bewarna putih polos. Dia segera mengambil mic yang diletakkan di dekat dinding tipis bewarna putih yang menjadi perbatasan antara jamaah laki-laki dan perempuan.
Dengan senyum sumringah, dia melantunkan sholawat-sholawat serta pujian untuk Allah.
'Bapak sama ibu cepet pulang dong, biar bisa denger suara Aisyah lagi pujian.' Batin Aisyah sambil melantunkan pujian untuk Allah.
To be continued
nb : mohon krisarnya ^^/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar